Ini tentang apresiasi prestasi pada seseorang. Realita dalam kehidupan sosial menggambarkan bahwa Kebanyakan orang “tidak butuh” pada prestasi intelektual prbadi kita. Tapi yang dibutuhkan adalah sejauh mana pencapaian tersebut membawa manfaat. Anda dan kita semua, khususnya para sarjanawan merupakan sosok-sosok yang diinanti tindak tanduknya. Sejauh mana tindak-tanduk ilmu anda bisa membantu dan bernilai guna bagi kelangsungan orang banyak. Penting untuk disandingkan sebagai pasangan sejati dari prestasi itu ialah kerendahan hati. Ibarat pepatah mengatakan, hiduplah ibarat padi yang kian ia berisi, maka kian ia merunduk. Selain itu, patut pula kita ingat-ingat, “sebaik-baik manusia yaitu yang paling banyak memberikan manfaat”
Manusia hanya akan menganggap ‘ada’ orang yang punya prestasi sebagai bentuk simpati dan empati. Jika intelektual itu tidak dibuntuti dengan sikap rendah apa jadinya?!. Penting juga diketahui, bagaimana proses endemi atau penyebarluasan intelektualitas tersebut jauh lebih berharga ketimbang terlalu banyak ilmu tapi hanya hidup pada satu otak manusia. Don’t forget! Satu kepala saja, tidak akan pernah mampu mengubah keadaan, jika yang satu tersebut tidak mampu mempengaruhi kepala-kepala yang lainnya. Lantas, bagaimana akan melakukan transfer jika komunikasi terjalin dengan begitu buruknya. Para intelek terlalu kuat memegang anggapannya, atau bahkan berpikiran sempit, cuek dan egois pada lingkungan. Atau lebih parah lagi, menempatkan dirinya sebagai seorang yang perkataannya paling benar. Of course, your aren’t prophet. Sedang disisi lain, orang-orang terlalu awam untuk dapat menyatu dengan sikap intelek tersebut. Gap telah memisahkan banyak hati yang sebenarnya dapat disatukan dengan satu cara: berilmu dan kerendahan hati.
Dalam kehidupan masyarakat, terdapat struktur sosial yang terkota-kotak, minimalnya karena faktor yang dibentuk oleh background pendidikan. Ketidakefektifan dari cara mendeliver ‘isi otak’ (dalam rangka mencerdaskan masyarakat) terpisahkan oleh gap yang terlalu besar. Untuk melewati parit yang satu ini, kita perlu membangun jembatan antara kedua pihak. Pengetahuan yang disampaikan tanpa ditegakkan di atas nilai-nilai budaya dan sopan santun yang baik, meskipun benar, oleh masyarakat tidak dapat diterima. Bahkan secara frontal bisa saja ketidakterimaan masyaraket tersebut membuat mereka ‘lari’ dan menjauh dari kita. Sangat disayangkan ilmu tersebut, gara-gara akhlak yang buruk, semuanya jadi ternodai.
Mengurangi jarak yang terlalu lebar atau dengan kata lain memperbaiki cara kita berdiskusi, berbicara, berprilaku, bertindak dan bergaul dalam interaksi sehari-hari merupakan suatu hal pokok yang harus didahulukan. Toh, para ulama salaf kita dahulu sebelum memasuki proses belajar yang panjang, mereka memulainya dengan belajar adab. Rasa kebersamaan yang kemudian terjalin merupakan suatu fondasi yang nantinya dapat dibangun di atasnya bangunan-bangunan ilmu yang baik.
Arogansi intelektual nyata telah menjatuhkan rasa hormat orang-orang terhadap keilmuan yang dimilikinya. Bukan saja pada ilmunya, tapi cara menyampaikan. Sebagai sebuah the way error yang tidak bisa diterima oleh masyarakat. Mari belajar adab dan akhlak, khususnya belajar untuk menjadi orang yang memiliki kerendahan hati.
Penyusun : Radikal Yuda Utaa
Artikel : www.muslimplus.net
Diselesaikan di Pogung Yogyakarta.