Ketika pengumuman hasil ujian, terlihat ekspresi yang beraneka ragam. Mulai dari sekedar senyuman, tawa, teriakan, bahkan sampai tangisan. Rasa kecewa dan bahagia terhadap hasil yang didapat adalah sebuah kewajaran. Yah, semua kita menginginkan kebahagiaan itu, apapun bentuknya! Tapi, ada satu kebahagiaan yang menjadi sebuah keanehan. Bahagia melihat teman sengsara. Bahagia melihat teman yang tidak faham. Bahagia melihat teman yang gagal. Bahagia melihat teman yang bodoh.

Disadari atau tidak, kita sering merasa bahagia saat teman gagal dalam ujian. Tanpa menimbang rasa, kita tertawa melihat penderitaan yang dialaminya. Tanpa perasaan kita berkata, “Selamat ya, kamu gagal dan harus mengulang di semester depan”. Idealnya, kita turut merasakan kesedihan dan meringankan bebannya. Dia adalah saudara kita. Allah adalah Tuhan kita, nabi Muhammad adalah kekasih kita dan Islam adalah agama kita. Ibaratkan jasad, seharusnya mata menangis saat ada yang terluka. Anehnya, kita justru tertawa diatas luka.

Dia adalah teman kita berjuang. Jika kita calon dokter, dia adalah teman berjuang dalam kesehatan. Jika kita calon guru, dia adalah teman berjuang dalam pendidikan. Jika kita calon insinyur, dia adalah teman berjuang dalam pengetahuan. Lantas, kenapa kita tertawa dengan kegagalan dan penderitaan yang menimpanya?

“Satu kebahagiaan yang menjadi keanehan” tidak hanya terjadi pada saat pengumuman hasil ujian. Namun, kondisi ini juga terjadi di kalangan penggerak dakwah. Al-Qur’annya sama, hadisnya sama, dan cara memahami keduanya juga sama, tapi kenapa muncul “derita di atas bahagia” ? Merasa sedih saat jamaah ustaz Polan lebih banyak. Merasa terluka saat ustaz Polan yang diundang. Merasa teriris saat pondok ustaz fulan mendapatkan bantuan.

“Satu kebahagiaan yang menjadi keanehan” tidak hanya terjadi saat pengumuman hasil ujian. Namun, kondisi ini juga terjadi di kalangan umat Islam. Bahagia ketika yayasannya terekspos. Bahagia ketika namanya terkenal. Bahagia ketika organisasinya terangkat. Terlebih, apabila temannya berada dalam kondisi yang sebaliknya.

Aksi balik pun terjadi, temannya memisahkan diri dan membuat yayasan baru walau hanya seorang diri. Seakan berkata, “menjadi singa di hutan kecil lebih baik daripada menjadi tikus di hutan besar”.

Jujur, kita merasa sedih dengan keadaan diri kita sendiri. Kita semua sadar bahwa dia adalah teman kita berjuang, tapi kenapa kita tertawa saat ia terluka? Kita semua sepakat bahwa dia adalah saudara kita seagama, tapi kenapa kita terluka saat ia tertawa?

Kita perlu berhenti sejenak dan bertanya, APA TUJUAN saya berbuat? Apakah supaya manusia mengagungkan Allah dan agama-Nya? Atau, supaya manusia mengagungkan kita dan yayasan yang kita bina?

Kita perlu berhenti sejenak dan bertanya, UNTUK SIAPA saya berbuat? Benarkah untuk mencari rida Allah? Atau… kita sedang mencari rida selain-
Nya?

@ Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah (STDI) Imam Syafii

Jumat 9 Oktober 2015
Penulis : Muhammad Abu Rivai