Beliau adalah seorang nabi dan murabbi. Kesempurnaan akhlak tampak pada kesehariannya. Kesesuaian antara perkataan dan perbuatan membuatnya dikagumi oleh kawan maupun lawan. Ketika mengajarkan kebaikan, beliau adalah orang yang pertama melakukannya. Saat melarang dari keburukan, beliau berada di posisi yang terjauh dari keburukan tersebut. Mata menjadi sejuk ketika membaca kisahnya dan telinga menjadi sejuk tatkala mendengar sejarah kehidupannya. Beliaulah seorang nabi dan murabbi yang berakhlak dengan Al-Quran. Bermacam perintah beliau laksanakan dan semua larangan telah ditinggalkannya.

Sangat tak layak bila penyeru kebaikan justru menjadi orang yang paling jauh dari kebaikan itu. Menjadi hal yang tak pantas saat seseorang melarang yang lainnya dari keburukan namun ia menjadi orang yang terbiasa dengan keburukan itu. Sungguh tercela. Perkataan dan tulisannya mengajak ke surga, tapi perbuatannya menggiring ke dalam neraka. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS’. Ash-Shaff: 2-3)

Saat muallim atau murabbi tidak jujur dengan perbuatannya, dampak buruk juga menimpa orang-orang yang dididiknya. Mereka bingung dan saling bertanya, “Apa yang harus saya lakukan?” Tak mengerti mana yang harus dipilih. Perkataan murabbi yang harus dibenarkan, ataukah perbuatan yang berbeda dengan perkataannya? Dalam suatu kesempatan ia mengajarkan bahwa dusta adalah perbuatan tercela yang mendatangkan sengsara. Tapi di banyak kesempatan ia justru menjadikan dusta sebagai kebiasaannya.

Banyak mata yang mengawasi dan melihat perbuatan seorang murabbi. Sebuah kewajaran karena memang demikianlah keadaan orang yang dijadikan sebagai teladan. Akan menjadi hal yang tidak wajar bila seorang murabbi melupakan tarbiyah untuk dirinya sendiri. Menjadi sesuatu yang aneh apabila sibuk mengobati orang lain namun justru lupa dengan kesehatan diri sendiri. Dalam firman-Nya Allah ta’ala mengingatkan hamba-Nya dengan kisah ahli kitab terdahulu

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu mebaca kitab (Taurat), tidakkah kamu mengerti? (QS. Al-Baqarah: 44)

@ Kutipan faidah dari kitab Ar-Rasul Al-Mu’allim

Penyusun : Muhammad Abu Rivai
Artikel : aburivai.com

http://aburivai.com/2016/01/04/kejujuran-seorang-murabbi/