“Kau tau kan betapa berharganya waktu!” Dengan nada sedikit tinggi. “Iya pak” dengan muka tertunduk dan suara lirih nyaris tak terdengar ia membalas. “Kalo kau sudah bisa memaknai waktu dengan benar niscaya tak akan kau biarkan waktu itu melangkahi kau walau hanya satu detik tak akan pernah”
“Kau tau bahwa yang Maha Tinggi saja bersumpah dengan yang namanya waktu, kau tau apa artinya itu? Itu menandakan bahwa waktu itu amat istimewa”
“Terdengar memang petuah ini sangat klise, berkali-kali bahkan ribuan kali kau telah mendengarnya, apa boleh buat aku harus menyampaikan ini kepada kau”
“Aku hanya tak ingin sebagai manusia yang terlahir dan hidup lebih dulu dari kau, kelak menyaksikan sebuah penyesalan yang sudah tak ada gunanya lagi dimasa mendatang, selama dan sekencang bagaimanapun kau menangisi sebuah penyesalan itu, seolah tak ada maknanya lagi, semua sudah terlambat”
“Kau tau bahwa guru, pedagang kaki lima, PNS, para ajudan bupati, pemilik dan pedagang warung kopi, pedagang sayur, pedagang sembako, suster, bidan, mantri, dokter, bapak polisi, banpol, tukang pos, ustadz, nahkoda, penggali kubur, pandai besi, wartawan, kepala desa, penulis, seniman, olahragawan, mahasiswa, pemulung sampah, juru parkir, kuli bangunan, tukang bakso, kuli serabutan, nelayan, sopir mobil, para kernet, kuli panggul, tukang ojek, ketua KUA, penghulu, bendahara”
“Mereka sama hanya diberikan jatah waktu oleh Yang Maha Tinggi 86400 detik perhari tidak lebih”
“Sekarang tinggal kembali kepada diri kau saja, entah akan kau olah seperti apa adonan waktu itu, menjadi kue kebahagiaan yang tiada tara diakhir atau akan menjadi kue bantet penyesalan yang tak berujung”
“Aku ingatkan sekali lagi kepada kau, bahwa Yang Maha Tinggi bersumpah dengan waktu”
“Waktu itu bagai sebilah pedang, jika kau tak dapat mempergunakan dengan baik, tunggu saja saat ia akan menebas dan mencincang kau berkeping-keping”
Setelah panjang lebar memberikan petuah ia pun meninggalkan ruangan.
Penulis: Fitra Aryasandi
Artikel: muslimplus.net