Dari Muhammad bin Malik bin Dhaigham, dia berkata, mantan sahaya kami, Abu Ayyub menceritakan kepada kami Abu Malik pernah menceritakan kepadaku pada suatu hari,

Wahai Abu Ayyub, waspadailah bahaya dirimu terhadap dirimu sendiri, karena sesungguhnya aku melihat bahwa duka kaum mukminin di dunia ini tak pernah berakhir. Dan demi Allah, seandainya hari akhirat tidak mendatangkan kebahagiaan bagi seorang muslim, niscaya sudah terkumpullah dua hal: sengsara di dunia dan celaka di akhirat.

Beliau (Abu Ayyub) bertanya, “Bagaimana mungkin akhirat tidak membawa kebahagiaan, padahal dirinya telah berusaha keras dan mengalami kepayahan di dunia?” Abu Malik menjawab, “Bagaimana amalnya dapat diterima, dan bagaimana ia bisa selamat?” Beliau meneruskan, “Berapa banyak orang merasa dirinya telah berbuat baik, telah berkurban dengan baik, merasa telah memperbaiki niat dan amalnya, tapi semua itu dikumpulkan pada hari Kiamat nanti, lalu dicampakkan ke wajahnya sendiri karena ia tidak ikhlas” (Shifat ash-shafwah, 2/96)

Perkara niat, merupakan perkara paling dasar dari berbagai amalan dasar. Niat yang ikhlas menjadi fondasi dibangunnya amal. Rusak yang satu ini, rusak semuanya. Sia-sia segalanya.

Zaman sekarang, tiap hari, tiap detik, hampir setiap orang mengupdate statusnya. Menceritakan tentang dirinya. Postingan. Capture. Foto. Bahkan sampai pada hal-hal yang bersifat privasi pun menjadi konsumsi publik. Yang menyedihkan lagi tatkala ‘publikasi’ itu seputar ibadah. Aktivitasnya yang harus disembunyikan. Malah dipamerkan. Mungkin masih ada untungnya jika postingan tersebut sebaik dan sejujur dengan realitanya. Namun, realita bercerita lain. Padahal baru kali-kali itu shalat subuh dimasjid. Postingan langsung tayang di Instagram, “Mari sahabat, jangan sampai ketinggalan shalat subuhnya…” #preettt. Tapi, jika ini benar terjadi, kita tetap harus dahulukan husnuzan, ya?

Bagaimana kisah para salafus shalih menyembunyikan ibadahnya wajib kita tiru. Untung sekali mereka. Ibadahnya buaaanyaak. Nanti panennya juga full, karena ibadah tersebut tidak ada yang tahu kecuali dirinya dan Allah.

Sebagaimana kisahnya Rabi’ yang diriwayatkan oleh Sufyan, “Sesungguhnya amal perbuatan ar-Rabi’ seluruhnya dilakukan dengan diam-diam. Saat seseorang datang, sementara beliau tengah membaca Quran, beliau segera menutupi mushafnya dengan bajunya (Shifat ash-Shafwah, 3/61)

Begitu juga dulu Ali bin Husain ditiap malamnya ia membagi-bagikan makanan pokok roti, memanggul karung gandumnya sendiri, dan tidak pernah ada yang tahu perbuatannya tersebut sampai akhirnya ia meninggal. Ditemukan bekas hitam di pundaknya, dan saat itu pula orang-orang tidak lagi menerima pembagian roti tersebut.

Jangan sekali-kali kita mengharapkan keuntungan ibadah di dunia. Biarkan ia menjadi tabungan di akhirat. Sehingga jadilah ia pemberat timbangan kebaikan atas timbangan dosa dan maksiat yang kita lakukan. sepakat?

Allah Taala berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy-Syuuraa: 20)

Disusun oleh: Radikal Yuda
@Perpustakaan UGM | 07 Januari 2020
Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.